Tidak ingin menyalahkan sebuah masa lalu pahit yang terus terkenang. Terlalu pahit untuk diingat dan terlalu susah untuk dilupakan. Warna abu-abu yang semakin membuat pilu menambah barisan luka dalam perjalanan mencari sebuah takdir untuk mencintai dan takdir untuk dicintai. Bagaimana bisa manusia bercinta dengan embel-embel tidak mencintai lalu terikat dengan tali pernikahan. Bodoh jika manusia itu menikah tanpa embel-embel cinta.

Semusi dalam alunan cinta. Naera menatap  langit malam terlihat bulan sakit dengan dayang-dayang bintang yang terus setia menemani. Barisan bintang bercahaya menambah keelokan malam. Naera merebahkan tubuh pada sofa di bawah langit berbekal kekecewaan. “ Mana mungkin ia mengajariku, bahwa tak perlu ada cinta dalam sebuah pernikahan. Cukup belas kasihan yang akan menciptakan kesetian dan pernikahan itu terjalin awet,”
“ Bangsat!! Ini yang kau sebut belas kasih? Kau anggap aku apa? Pelacur? Yang akan datang setiap kau ingin merasakan renyahnya tubuhku?,” Naera memulai memaki suaminya.
“ Mau bilang apa lagi? Dengan alasan apalagi? Mau bilang tak butuh cinta?,” makian Naera terus menerus tertuju pada suaminya.
“ Tahi!,” maki Naera saat tak ada penolakan dari suaminya.
Naera menutup telepon genggram yang berkali-kali terus berdering untuk memaksa Naera kembali memaki laki-laki yang telah menikahi Naera 374 hari. Naera tak menghiraukan dering telepon dari suaminya, dikebulkan sebatang rokok yang telah menempel lekat pada bibir mungilnya. Tegukan air kuning berbusa terus mengalir lincah pada kerongkongan kering. Membasahi luka yang telah mengering terlalu lama, kembali basah karena tertetes kembali oleh datangnya masa lalu yang menyakitkan.
Naera memandangi foto pernikahan yang menempel kuat pada dinding berpaku beton. Terlihat kebahagian yang begitu sempurna untuk sebuah penikahan tanpa embel-embel cinta. Perkenalan yang begitu singkat, memaksa Naera menerima janji sehidup semati tanpa cinta. Naera tak pernah mempermasalah bagaimana pertemuan awal yang membuat Naera merasakan sakit awal yang begitu dalam. “ Awal yang sakit, berharap akan berakhir kebahagian yang sempurna,” Naera kembali mengebulkan asap angan-angan tentang mimpi yang akan berakhir dengan kebahagian.
“ Bangsat! Jadi selama ini kau berbohong kepadaku?,” makin keras makian Naera.
“ Ya, ya, kau tak pernah bohong kepadaku,” Naera mencoba menirukan alasan suaminya.
“ Maksudmu ingin menutup rapat-rapat, agar aku tak merasakan sakit,” makin Naera semakin tak menerima penolakan suaminya.
“ Tahi! Tak ada bangkai yang tersimpan tidak berbau. Kau sadar siapa wanita yang  di depanmu ini. Akulah Istrimu yang kau nikahi dengan modal kekecewaan. Dengan janji kau akan membahagiakan aku,” mengema makian Naera semakin tak terkendali.
Naera sadar tak ada cara untuk membuatnya mengakui semua keadaan yang telah menghadirkan luka. Suami yang hanya bermodal diam tanpa menjelaskan asal luka itu tiba-tiba menjadi hidangan pelengkap yang menambah daftar sakit. Sudah menyerupai tagihan utang yang tak mampu terlunasi. Semakin menambah dan tambah luka yang suaminya hidangkan untuk Naera.
“ Kau selingkuh, aku maafkan kau!,” tegas Naera.
“ Kau meniduri wanita itu, aku maafkan kau!,” tegas Naera untuk menyadarkan suaminya.
“ Kau habiskan uangku untuk wanita itu, aku maafkan kau!,” tegas Naera.
“ Sekarang kau minta aku menerima anak ini?,” tegas kekecewaan terlihat dari raut muka Naera.
“ Tahi!,” Makin keras makian Naera kepada suaminya.
Naera melirik kalender dengan tanda bulatan merah. Beberapa jam pagi menyambut dengan pintu gerbang kebebasan dan ketokan palu sang hakim yang akan melepaskan Naera dari pernikahan bermodal belas kasihan tanpa rajutan cinta yang tulus. Kebebasan sebuah kerinduan menikmati hidup tanpa bermain hati. Seperti halnya, Naera menikmati sebatang rokok tanpa takut akan terserang balik asap-asap yang menerbangkan luka dan kekecewaannya.
“ Menikah bukan perkara siap untuk hidup bersama. Pertanyakan sudah kah kau mampu mencintai pasanganmu, sebelum kau katakan: Mau kah kau menikah denganku?”
Basilia Cafe, 09.11.15;18.12

De’ Ayu